Entri Populer

Rabu, 22 Januari 2014

Sedikit Ilmu


Berhentinya seorang mukmin dari beraktivitas adalah kelalaian. Kekosongan adalah musuh yang mematikan, dan kesenggangan adalah sebuah kemalasan.

Bersyukurlah kepada ALLAH bahwa saat ini masih ada kegiatan yang dapat dilakukan. Masih ada saudara yang saling menasihati dalam kebaikan, masih mampu menghadiri acara yang diharapkan penuh kemanfaatan. Karena sesungguhnya, jika ALLAH tidak memenuhi waktumu dengan hal yang bermanfaat, lambat laun, kau akan mendekati maksiat. Karena bisikan syaitan akan memenuhi kala dirimu berada dalam kesenggangan. Kekosongan mengakibatkan kemalasan, dan kemalasan pada akhirnya akan membawamu pada penundaan. Kebaikan yang tertunda, kemajuan yang tak kunjung memberikan tanda hadirnya.

Barangsiapa tidur dengan tenang di tempat tidurnya, sehat badannya, memiliki jatah makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dia telah mendapatkan dunia dan semua kenikmatannya.”
-HR. Tirmidzi-
 
Pertanyaan selanjutnya, apakah sudah terucap syukur kita kepada ALLAH? Yang senantiasa memberi kenikmatan, namun manusia terlalu banyak lalai akan mengucap syukur kepada-Nya. Kita terlalu merasa bahwa segala yang diberikan-Nya adalah hal yang biasa, padahal sesungguhnya segala sesuatu yang diberikan oleh-Nya takkan pernah mampu terukur dengan harga. Mata misalnya. Apakah kita rela menukarnya dengan sebuah mobil mewah? Jikapun ya, adakah kenikmatan terasa ketika mata tak lagi sempurna fungsi penglihatannya?

Hidup itu harus mempunyai misi
Apa tujuan yang ingin dicapai
Apa manfaat yang harus diberi

Memang pada akhirnya kita semua akan mati.
Tapi ikhlaskah dirimu, ketika hidup ini hampa akan makna, seakan berada di dunia tak memiliki arti?

Sebaik-baik tujuan dari kehidupan adalah berakhir dengan cara yang baik. Dan sebaik-baik manusia adalah yang mampu memberikan banyak manfaat bagi manusia lainnya. Manfaat dari amal yang dilakukan, manfaat dari ilmu yang ditebarkan, manfaat dari akhlak yang mengagumkan. Bagaimanakah caranya? Milikilah ilmu sebelum beramal. Milikilah ilmu, agar dirimu terjaga dengan petunjuk lurus-Nya.

Sesungguhnya jiwa saya merasa senang dengan ilmu; dengannya jiwa saya semakin kuat.

-Ibnu Taimiyyah-
 

Karena ilmu yang benarlah yang akan menuntunmu. Ilmu yang membuatmu tahu, ilmu yang memberikanmu paham, ilmu yang menunjukkan kesalahan dan kebenaran.

Suatu ketika Abu Hurairah memasuki pasar di Madinah. Ia melihat banyak orang sibuk dengan perniagaannya, perdagangannya. Seketika Ia berdiri dan berseru, “Wahai penduduk Madinah, alangkah ruginya kalian!”. Penduduk Madinah pun bertanya, kerugian apa yang kau lihat dari kami wahai Abu Hurairah?”. “Sesungguhnya peninggalan Rasulullah telah dibagi-bagi. Tidakkah kalian berkeinginan pergi mengambil bagian kalian?”. “Dibagi di mana?”. “Di Masjid”. Berbondong-bondonglah orang di pasar menuju Masjid, dan Abu Hurairah hanya menunggu kedatangan mereka kembali. Pada akhirnya, mereka kembali dengan bermuka masam dan melemparkan protes, “Tidak ada apa-apa di Masjid! Tidak ada pembagian apa-apa!”. Abu Hurairah menyeru, “Apakah kalian tidak melihat orang-orang di sana?”. “Ya, kami melihat tetapi tidak ada pembagian, kecuali orang-orang yang sedang shalat, mengkaji Al-Qur’an, dan mendiskusikan halal haram. Itu saja”. “Celakalah kalian! Itulah peninggalan Rasulullah!”

Banyak dari kita yang memilih memenuhi waktu senggang dengan hal yang kurang bermanfaat, mendiskusikan hal-hal yang seharusnya tidak didiskusikan, mendebatkan hal yang tak berujung pada penyelesaian. 

“Semoga ALLAH menjayakan Amirul Mukminin. Ilmu itu datang dari lingkungan kalian (baytun nubuwah). Jika kalian memuliakannya, ia jadi mulia. Jika kalian merendahkannya, ia jadi hina. Ilmu harus didatangi, bukan mendatangi.”

Siapakah orang yang mengatakan kalimat tersebut? Siapakah Amirul Mukminin yang dimaksud? Amirul Mukminin tersebut adalah yang membawa Islam pada masa keemasannya. Keilmuan dan riset yang berkembang menjadikan kebudayaan maju pesat. Perekonomian berjalan lancar. Dan menjadikan Baghdad sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan di dunia. Ia memimpin pada masa Abbasiyah. “Harun Ar-Rasyid”. Pada masanya baitul maal berkembang dengan tiga diwan, diwan al-azra, diwan al khazanah, diwan khazain as silah. Pemungutan pajak pun dilakukan dengan tiga cara, muhasabah, muqasamah, dan muqatha’ah. Orang yang mengatakan kalimat tersebut adalah ia yang menulis kitab Al-Muwatha’. “Imam Malik”. Mengapa Imam Malik berkata demikian? Karena Khalifah Harun Ar-Rasyid meminta sang Imam untuk mendatangi rumahnya dalam rangka mendekatkan anak-anaknya pada kitab Al Muwatha’. Jawaban beliau adalah kalimat di atas. 

Bagaimana mungkin ilmu menghinggapi orang yang tidak memiliki usaha dalam menggapainya? Ilmu akan sampai hanya kepada orang yang dengan rendah hati mendatanginya. Bersungguh-sungguh memahaminya. Berusaha maksimal mengamalkannya. Maka ketika ia didapatkan dengan cara mudah, ia pun mampu pergi dengan cara yang mudah.

“Kehebatan generasi shahabat bukan semata-mata karena di sana ada Rasulullah, sebab jika ini jawabannya berarti Islam tidak rahmatan lil ‘alamin. Kehebatan mereka terletak pada semangat mereka untuk belajar lalu secara maksimal berupaya mengamalkannya.”
-Sayyid Quthb- 

Proses belajar para sahabat tidak hanya sebatas pada mempelajari sesuatu, tetapi sekaligus belajar untuk mengaplikasikannya. Generasi sahabat mengetengahkan sebuah pandangan tentang belajar untuk memahami (learning how to think). Mereka sangat haus akan pengetahuan. Kemauan mereka terhadap ilmu melampaui kemauan mereka terhadap hal lain. Generasi itu juga menjelaskan tentang belajar untuk mengamalkan (learning how to do). Satu unit pengetahuan yang mereka peroleh langsung mereka aplikasikan. Satu unit pengetahuan memantik lahirnya langkah konkret dalam mengaplikasikan. Langkah inilah yang akan menguatkan pengetahuan yang diperoleh. Generasi sahabat juga memiliki kesadaran diri untuk menjadi pribadi paripurna, pribadi yang bertakwa. Syaratnya, mereka perlu menginvestasikan amal-amal yang berkualitas. Untuk mencapainya mereka harus memiliki pemahaman yang baik. Dan untuk tujuan semua itu mereka belajar. Belajar untuk menjadi (learning how to be). Apapun yang dipelajari harus mampu membentuk pola pikir dan pola sikap dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang disebut transfer learning.

Meraih Keberkahan belajar dengan...
1. Motivasi yang Ikhlas (ikhlash an-niyyah)
2. Belajar dengan sebaik-baiknya (itqan al-’amal)
3. Pemanfaatan hasil usaha (belajar) dengan tepat (jaudah al-ada’) 

Agar proses belajar menjadi berkah, tiga hal tersebut yang harus dilakukan. Pertama, motivasi yang ikhlas, yakni untuk mendapatkan keridhaan ALLAH, menjadikan belajar sebagai sarana beribadah kepada-Nya, sarana mendekatkan diri kepada-Nya. Karena segala sesuatu akan dinilai sesuai dengan niatnya. Kedua, belajar dengan sebaik-baiknya. Contoh, sebagai mahasiswa ketika diberikan tugas oleh dosen maka ia akan mengerjakan dengan sebaik-baiknya. Berusaha menyempurnakan pemahamannya. Belajar akan dilakukan dengan etos dan profesionalitas yang tinggi. Tidak pernah sedikitpun terbersit keinginan untuk menyontek! Karena menyontek tidak mampu mengukur kemampuan diri yang sesungguhnya. Menyontek adalah salah satu keraguan diri atas kemampuan yang diberikan oleh-Nya. Ketiga, Pemanfaatan hasil usaha (belajar) dengan tepat. Inilah unsur ketiga dalam memperoleh keberkahan. Setelah berhasil memperoleh gelar sarjana, apakah ia memanfaatkan gelar sarjananya dengan tepat? Untuk dirinya sendirikah? Atau ia juga membawa keberkahan bagi orang lain? Bagaimana dengan manfaatnya untuk umat? Kepentingan masyarakat secara umum? Maka bersiap-siaplah bagi para penyandang dan calon penyandang gelar sarjana, tanyakan pada diri kita, akan berbuat apa kita nantinya? Apakah untuk umat yang amat dikhawatirkan Rasulnya?

Cerdas dengan...
  1. Menata Diri
  2. Menjadi Guru
  3. Menata Kontribusi
  4. Berjamaah
Cerdas dengan menata diri, dapat dilakukan dengan eliminasi, buang jauh-jauh pikiran negatif, buruk sangka terhadap masa depan. Tidak mampu dalam melakukan sesuatu.

“Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai ALLAH daripada mukmin yang lemah. Dan, setiap diri pastilah memiliki potensinya masing-masing. Bersemangatlah kalian dalam melakukan sesuatu yang bermanfaat, mintalah pertolongan kepada ALLAH, dan janganlah kalian merasa tidak mampu.”
-HR. Bukhari-

Lalu lakukanlah substitusi pikiran (ganti hal yang negatif dengan pemikiran-pemikiran positif), visualisasi, dan ekspektasi Rabbani. Menjadi guru ialah bagaimana diri dapat menginvestasikan ilmu, menularkan kebaikan pada orang lain. Jika kita ingin orang lain berbuat baik, maka berbuat baiklah terlebih dahulu. Jangan menuntut hal yang ingin dicapai tanpa pernah kita melakukan sesuatu.
Menata diri dapat dilakukan dengan menata mental, dan segera merealisasikan mimpi dengan bergerak.

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan ALLAH. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
[QS. At-Taubah: 41]

Hindari rasa malas, jauhkan diri dari kekosongan tanpa arti, sibukkan diri untuk mengusir kesenggangan. Ketika dirimu tahu sesuatu adalah bermanfaat dan mampu memberikan kemanfaatan, maka bergeraklah!

“Ketika hidup ini hanya untuk diri sendiri, maka ia akan terasa sangat singkat dan tak bermakna. Tapi ketika hidup ini kita persembahkan untuk orang lain, ia akan terasa panjang, dalam, dan penuh makna.”
-Sayyid Quthb-