Krisis
global pada tahun 2008 telah membuat efek domino yang cepat ke berbagai negara
di dunia. Diawali dengan adanya “subprime
mortgage” di Amerika Serikat, kemudian menular ke negara-negara yang
mempercayakan investasinya pada sang adidaya. Pemberian kredit lunak perumahan bagi masyarakat Amerika yang tidak memiliki
penghasilan tetap dan di bawah rata-rata ini menjadi puncak terjadinya krisis
ekonomi dunia. Lehman Brothers yang merupakan perusahaan investasi raksasa
mengalami kebangkrutan pada 15 September 2008.
Kemudahan
syarat dalam mengambil kredit perumahan ini meningkatkan minat masyarakat untuk
membeli rumah dengan KPR. Banyaknya permintaan kredit ini juga disebabkan
adanya suku bunga rendah yang ditetapkan untuk masa kredit satu sampai tiga
tahun. Setelah tiga tahun, suku bunga berubah dan pada umumnya meningkat.
Institusi keuangan Amerika tergiur dengan ekspektasi pendapatan yang tinggi dan
berlomba-lomba dalam menawarkan produk KPR. Makin maraknya permintaan
kepemilikian rumah ini membuat institusi keuangan mencari cara dalam memenuhi
keinginan pasar. Mereka mulai membuat surat utang dengan jaminan rumah yang
sama untuk mendapatkan dana tambahan dalam memperluas bisnis properti. Surat
utang ini kemudian dijual kepada institusi penjamin kredit (Fannie Mae dan Freddie
Mac). Institusi penjamin ini kemudian membuat instrumen berupa Mortgage Backed Securities untuk
kemudian dijual di bursa saham Wall Street. Instrumen ini pun memiliki
derivatif berupa Collateralized Debt Obligation (CDO). Siklus ini pun terjadi berulang-ulang.
Dengan diluncurkannya instrumen derivatif ini, mengalirlah arus investasi dana
dalam jumlah besar ke Amerika Serikat.
Pada
mulanya, suku bunga yang rendah memungkinkan debitor untuk membayar kreditnya.
Dengan adanya pertumbuhan ekonomi, Bank Sentral AS yakni The Fed kemudian
meningkatkan suku bunga kredit dari 1% pada Mei 2004 menjadi 5.25% pada Juni
2006. Kenaikan ini menyebabkan para debitor tidak lagi mampu membayar tunggakan
dan mengakibatkan banyaknya perumahan yang dilelang karena gagal bayar.
Pengembang properti yang terlanjur memperluas usahanya mengalami kekurangan
demand karena suku bunga yang tinggi. Akhirnya harga properti menjadi rendah. Adanya
siklus penjualan instrumen keuangan yang berulang mengakibatkan berbagai institusi
keuangan mengalami kerugian.
Pada
krisis keuangan global ini dapat terlihat bahwa adanya ketidakhati-hatian
institusi keuangan dalam menyalurkan kreditnya. Hal yang mendasar dari
pemberian kredit oleh lembaga keuangan adalah “prudence” yang secara sadar maupun tidak sadar telah diabaikan demi
meraih keuntungan dan pertumbuhan perekonomian. Ekspektasi pendapatan yang
tinggi menyebabkan aspek-aspek penting lainnya lalai dari perhatian.
Penawaran
kredit yang menggiurkan menarik masyarakat untuk berbondong-bondong menggunakan
produk KPR. Diawali dengan banyaknya penawaran kredit murah dengan syarat yang
mudah, menyebabkan permintaan meningkat dan akhirnya melebihi kemampuan
institusi keuangan. Produk derivatif pun diciptakan untuk mengimbangi tingginya
permintaan. Hal ini tidak menjadi masalah ketika debitor masih mampu membayar
kreditnya. Namun, ketika permintaan meningkat dan harga naik, maka hal ini
mengindikasikan adanya pertumbuhan ekonomi dari geliat minat masyarakat dalam
melakukan investasi di bidang properti. Ketika suku bunga beranjak naik,
debitor yang memiliki penghasilan di bawah rata-rata ini pun mengalami gagal
bayar.
Lembaga keuangan yang
mengeluarkan produk derivatif untuk melindungi nilai aset investor pun mengalami
kebangkrutan. Banyaknya negara yang mempercayakan investasinya di AS menjadikan
krisis ini menular dengan cepat.
8 November 2014
Diolah Dari Berbagai Sumber
8 November 2014
Diolah Dari Berbagai Sumber