Entri Populer

Minggu, 15 Desember 2013

Sebuah Kisah Cinta

Pada perjalanan awal menuju Gua Tsur di pinggir Makkah sementara para pembunuh bayaran mengikuti mereka, Abu Bakar berjalan dengan cara yang tidak dikenal apa maksudnya. Kadang dia mendahului Sang Nabi, kadang berjalan perlahan di belakangnya, berpindah ke sebelah kirinya lalu berpindah lagi ke sebelah kanannya.

"Apa yang engkau lakukan wahai Abu Bakar?", tanya Sang Nabi. "Engkau tidak biasanya melakukan perbuatan seperti itu?"

Abu Bakar tersenyum malu, meski pada wajahnya tampak ada kekhawatiran yang terlalu. "Aku teringat bahwa musuh akan menghadang, maka aku berjalan di hadapanmu. Aku pun teringat bahwa musuh sedang mengejarmu, aku berjalan di belakangmu. Terkadang, aku berada di sebelah kananmu, terkadang pula aku berada di sebelah kirimu." Abu Bakar menatap Sang Nabi. "Aku merasa engkau tidak aman."

Sang Nabi tahu, itu cinta. Kekhawatiran yang bersumber pada cinta. Cinta seorang sahabat, murid, dan kekasih yang tak ingin kekasihnya terluka. Mereka lalu berjalan terus sementara ancaman para pembunuh bayaran tak berjeda. 

Menaiki Bukit Tsur, sementara kelelahan telah begitu rupa, keduanya tak berhenti. Terus mendaki. Hingga terluka kaki Sang Nabi. Sewaktu keduanya telah sampai di hadapan sebuah gua,  dan Sang Nabi hendak memasukinya, Abu Bakar mengangkat tangannya. "Demi ALLAH, engkau jangan masuk dulu sampai aku masuk terlebih dahulu. Jika di dalamnya ada sesuatu, aku yang akan terkena terlebih dahulu, bukan engkau."

Sang Nabi terdiam lalu Abu Bakar perlahan masuk ke dalam gua. Dinding gua kecil itu berlubang-lubang. Abu Bakar meraih jubahnya, mulai menyobekinya. Gumpalan-gumpalan kain miliknya menyumpal lubang-lubang itu hingga tertutup sepenuhnya. Namun, masih ada dua lubang tersisa. Abu Bakar lalu menginjakkan dua telapak kakinya, menutup dua lubang yang menganga. "Masuklah wahai, Rasulullah."

Masuklah Sang Nabi ke dalam gua. Melepas lelah oleh perjalanan dan beban batin yang menguras ketangguhan. Sang Nabi tertidur sementara kepala sucinya berada di pangkuan Abu Bakar. 

Waktu berlalu dan Abu Bakar masih terjaga. Tak ada kantuk yang ia bolehkan menghampirinya. Hingga sesuatu yang terasa mematuk kakinya menyentak seluruh tubuhnya. Gigi menggigit bibir, mata melebar, badannya sedikit gemetaran. Sebisa mungkin, Abu Bakar tetap berdiam diri. Sekuat tenaga ia tahan sakitnya. Khawatir dia, gerakannya akan membangunkan Sang Nabi.

Maka semua pertahanan Abu Bakar bermuara pada bola matanya. Memanas rasanya lalu menetes air dari kedua sudutnya. Tetesan yang jatuh tepat mengenai wajah Sang Nabi. Kedua mata Sang Nabi terbuka perlahan. "Ada apa, wahai, Abu Bakar?"

Tahu Sang Nabi telah terbangun, Abu Bakar merasa tak perlu untuk menyembunyikan sesuatu. "Demi ayah dan ibuku, aku dipatuk ular, wahai, Rasulullah."

Sang Nabi segera bangkit kemudian memeriksa kaki Abu Bakar. Luka patukan yang kecil tapi menyakitkan. Sang Nabi segera melakukan pertolongan dan melakukan pengobatan semampunya. 

Hari itu sungguh awal yang berat dalam sebuah gua perlindungan yang pekat. Gua yang hanya berupa ceruk yang tak lebar. Ketika berbaring, kaki siapa pun yang ada di dalamnya akan tampak dari luar. "Jika salah seorang yang mengejar kita melihat kakinya, tentu mereka akan dapat melihat kita," bisik Abu Bakar penuh sedih dan kekhawatiran. 

Sang Nabi tersenyum dan menghiburnya. "Wahai Abu Bakar, engkau mengira kita hanya berdua? Sesungguhnya ALLAH adalah yang ketiga."

- Muhammad, Para Pengeja Hujan-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar