Berhentinya seorang mukmin
dari beraktivitas adalah kelalaian. Kekosongan adalah musuh yang mematikan, dan
kesenggangan adalah sebuah kemalasan.
Bersyukurlah kepada ALLAH bahwa
saat ini masih ada kegiatan yang dapat dilakukan. Masih ada saudara yang
saling menasihati dalam kebaikan, masih mampu menghadiri acara yang
diharapkan penuh kemanfaatan. Karena sesungguhnya, jika ALLAH tidak memenuhi
waktumu dengan hal yang bermanfaat, lambat laun, kau akan mendekati maksiat.
Karena bisikan syaitan akan memenuhi kala dirimu berada dalam kesenggangan.
Kekosongan mengakibatkan kemalasan, dan kemalasan pada akhirnya akan membawamu
pada penundaan. Kebaikan yang tertunda, kemajuan yang tak kunjung memberikan
tanda hadirnya.
“Barangsiapa tidur dengan tenang di tempat tidurnya, sehat badannya,
memiliki jatah makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dia telah mendapatkan
dunia dan semua kenikmatannya.”
-HR. Tirmidzi-
Pertanyaan selanjutnya, apakah
sudah terucap syukur kita kepada ALLAH? Yang senantiasa memberi kenikmatan,
namun manusia terlalu banyak lalai akan mengucap syukur kepada-Nya. Kita
terlalu merasa bahwa segala yang diberikan-Nya adalah hal yang biasa, padahal
sesungguhnya segala sesuatu yang diberikan oleh-Nya takkan pernah mampu terukur dengan harga. Mata misalnya. Apakah kita rela menukarnya dengan sebuah mobil
mewah? Jikapun ya, adakah kenikmatan terasa ketika mata tak lagi sempurna fungsi
penglihatannya?
Hidup itu harus mempunyai misi
Apa tujuan yang ingin dicapai
Apa manfaat yang harus diberi
Memang pada akhirnya kita semua akan mati.
Tapi ikhlaskah dirimu, ketika hidup ini
hampa akan makna, seakan berada di dunia tak memiliki arti?
Sebaik-baik
tujuan dari kehidupan adalah berakhir dengan cara yang baik. Dan sebaik-baik
manusia adalah yang mampu memberikan banyak manfaat bagi manusia lainnya.
Manfaat dari amal yang dilakukan, manfaat dari ilmu yang ditebarkan, manfaat
dari akhlak yang mengagumkan. Bagaimanakah caranya? Milikilah ilmu sebelum
beramal. Milikilah ilmu, agar dirimu terjaga dengan petunjuk lurus-Nya.
Sesungguhnya jiwa saya merasa senang dengan ilmu; dengannya jiwa saya
semakin kuat.
-Ibnu Taimiyyah-
Karena ilmu yang benarlah yang
akan menuntunmu. Ilmu yang membuatmu tahu, ilmu yang memberikanmu paham, ilmu
yang menunjukkan kesalahan dan kebenaran.
Suatu ketika Abu Hurairah
memasuki pasar di Madinah. Ia melihat banyak orang sibuk dengan perniagaannya,
perdagangannya. Seketika Ia berdiri dan berseru, “Wahai penduduk Madinah,
alangkah ruginya kalian!”. Penduduk Madinah pun bertanya, kerugian apa yang kau
lihat dari kami wahai Abu Hurairah?”. “Sesungguhnya peninggalan Rasulullah
telah dibagi-bagi. Tidakkah kalian berkeinginan pergi mengambil bagian
kalian?”. “Dibagi di mana?”. “Di Masjid”. Berbondong-bondonglah orang di pasar
menuju Masjid, dan Abu Hurairah hanya menunggu kedatangan mereka kembali. Pada
akhirnya, mereka kembali dengan bermuka masam dan melemparkan protes, “Tidak
ada apa-apa di Masjid! Tidak ada pembagian apa-apa!”. Abu Hurairah menyeru,
“Apakah kalian tidak melihat orang-orang di sana?”. “Ya, kami melihat tetapi
tidak ada pembagian, kecuali orang-orang yang sedang shalat, mengkaji
Al-Qur’an, dan mendiskusikan halal haram. Itu saja”. “Celakalah kalian! Itulah
peninggalan Rasulullah!”
Banyak dari kita yang memilih
memenuhi waktu senggang dengan hal yang kurang bermanfaat, mendiskusikan hal-hal
yang seharusnya tidak didiskusikan, mendebatkan hal yang tak berujung pada
penyelesaian.
“Semoga ALLAH menjayakan
Amirul Mukminin. Ilmu itu datang dari lingkungan kalian (baytun nubuwah).
Jika kalian memuliakannya, ia jadi mulia. Jika kalian merendahkannya, ia jadi
hina. Ilmu harus didatangi, bukan mendatangi.”
Siapakah orang yang mengatakan
kalimat tersebut? Siapakah Amirul Mukminin yang dimaksud? Amirul Mukminin
tersebut adalah yang membawa Islam pada masa keemasannya. Keilmuan dan riset
yang berkembang menjadikan kebudayaan maju pesat. Perekonomian berjalan lancar.
Dan menjadikan Baghdad sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan di dunia. Ia
memimpin pada masa Abbasiyah. “Harun Ar-Rasyid”. Pada masanya baitul maal
berkembang dengan tiga diwan, diwan al-azra, diwan al khazanah, diwan khazain
as silah. Pemungutan pajak pun dilakukan dengan tiga cara, muhasabah, muqasamah,
dan muqatha’ah. Orang yang mengatakan kalimat tersebut adalah ia yang menulis
kitab Al-Muwatha’. “Imam Malik”. Mengapa Imam Malik berkata demikian? Karena
Khalifah Harun Ar-Rasyid meminta sang Imam untuk mendatangi rumahnya dalam
rangka mendekatkan anak-anaknya pada kitab Al Muwatha’. Jawaban beliau adalah
kalimat di atas.
Bagaimana mungkin ilmu
menghinggapi orang yang tidak memiliki usaha dalam menggapainya? Ilmu akan
sampai hanya kepada orang yang dengan rendah hati mendatanginya. Bersungguh-sungguh
memahaminya. Berusaha maksimal mengamalkannya. Maka ketika ia didapatkan dengan
cara mudah, ia pun mampu pergi dengan cara yang mudah.
“Kehebatan generasi shahabat bukan semata-mata karena di sana ada
Rasulullah, sebab jika ini jawabannya berarti Islam tidak rahmatan lil ‘alamin.
Kehebatan mereka terletak pada semangat mereka untuk belajar lalu secara
maksimal berupaya mengamalkannya.”
-Sayyid Quthb-
Proses belajar para sahabat tidak
hanya sebatas pada mempelajari sesuatu, tetapi sekaligus belajar untuk
mengaplikasikannya. Generasi sahabat mengetengahkan sebuah pandangan tentang
belajar untuk memahami (learning how to
think). Mereka sangat haus akan pengetahuan. Kemauan mereka terhadap ilmu
melampaui kemauan mereka terhadap hal lain. Generasi itu juga menjelaskan
tentang belajar untuk mengamalkan (learning
how to do). Satu unit pengetahuan yang mereka peroleh langsung mereka
aplikasikan. Satu unit pengetahuan memantik lahirnya langkah konkret dalam
mengaplikasikan. Langkah inilah yang akan menguatkan pengetahuan yang diperoleh.
Generasi sahabat juga memiliki kesadaran diri untuk menjadi pribadi paripurna,
pribadi yang bertakwa. Syaratnya, mereka perlu menginvestasikan amal-amal yang
berkualitas. Untuk mencapainya mereka harus memiliki pemahaman yang baik. Dan
untuk tujuan semua itu mereka belajar. Belajar untuk menjadi (learning how to be). Apapun yang
dipelajari harus mampu membentuk pola pikir dan pola sikap dalam kehidupan
sehari-hari. Inilah yang disebut transfer
learning.
Meraih Keberkahan belajar dengan...
1. Motivasi yang Ikhlas (ikhlash an-niyyah)
2. Belajar dengan sebaik-baiknya (itqan al-’amal)
3. Pemanfaatan hasil usaha (belajar) dengan tepat (jaudah al-ada’)
Agar proses belajar menjadi
berkah, tiga hal tersebut yang harus dilakukan. Pertama, motivasi yang ikhlas,
yakni untuk mendapatkan keridhaan ALLAH, menjadikan belajar sebagai sarana
beribadah kepada-Nya, sarana mendekatkan diri kepada-Nya. Karena segala sesuatu
akan dinilai sesuai dengan niatnya. Kedua, belajar dengan sebaik-baiknya. Contoh,
sebagai mahasiswa ketika diberikan tugas oleh dosen maka ia akan mengerjakan
dengan sebaik-baiknya. Berusaha menyempurnakan pemahamannya. Belajar akan
dilakukan dengan etos dan profesionalitas yang tinggi. Tidak pernah sedikitpun
terbersit keinginan untuk menyontek! Karena menyontek tidak mampu mengukur
kemampuan diri yang sesungguhnya. Menyontek adalah salah satu keraguan diri atas
kemampuan yang diberikan oleh-Nya. Ketiga, Pemanfaatan hasil usaha (belajar)
dengan tepat. Inilah unsur ketiga dalam memperoleh keberkahan. Setelah berhasil
memperoleh gelar sarjana, apakah ia memanfaatkan gelar sarjananya dengan tepat?
Untuk dirinya sendirikah? Atau ia juga membawa keberkahan bagi orang lain? Bagaimana
dengan manfaatnya untuk umat? Kepentingan masyarakat secara umum? Maka
bersiap-siaplah bagi para penyandang dan calon penyandang gelar sarjana,
tanyakan pada diri kita, akan berbuat apa kita nantinya? Apakah untuk umat yang amat
dikhawatirkan Rasulnya?
Cerdas dengan...
- Menata Diri
- Menjadi Guru
- Menata Kontribusi
- Berjamaah
Cerdas dengan menata diri, dapat
dilakukan dengan eliminasi, buang jauh-jauh pikiran negatif, buruk sangka
terhadap masa depan. Tidak mampu dalam melakukan sesuatu.
“Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai ALLAH daripada
mukmin yang lemah. Dan, setiap diri pastilah memiliki potensinya masing-masing.
Bersemangatlah kalian dalam melakukan sesuatu yang bermanfaat, mintalah
pertolongan kepada ALLAH, dan janganlah kalian merasa tidak mampu.”
-HR. Bukhari-
Lalu lakukanlah substitusi
pikiran (ganti hal yang negatif dengan pemikiran-pemikiran positif), visualisasi, dan
ekspektasi Rabbani. Menjadi guru ialah bagaimana diri dapat menginvestasikan
ilmu, menularkan kebaikan pada orang lain. Jika kita ingin orang lain berbuat
baik, maka berbuat baiklah terlebih dahulu. Jangan menuntut hal yang ingin
dicapai tanpa pernah kita melakukan sesuatu.
Menata diri dapat dilakukan
dengan menata mental, dan segera merealisasikan mimpi dengan bergerak.
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah
kamu dengan harta dan dirimu di jalan ALLAH. Yang demikian itu adalah lebih
baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
[QS. At-Taubah: 41]
Hindari rasa malas, jauhkan diri
dari kekosongan tanpa arti, sibukkan diri untuk mengusir kesenggangan. Ketika dirimu
tahu sesuatu adalah bermanfaat dan mampu memberikan kemanfaatan, maka
bergeraklah!
“Ketika hidup ini hanya untuk diri sendiri, maka ia akan terasa sangat
singkat dan tak bermakna. Tapi ketika hidup ini kita persembahkan untuk orang
lain, ia akan terasa panjang, dalam, dan penuh makna.”
-Sayyid Quthb-